“cha..icha..kita satu
kelas nih”
“waah..seriusan?”
“iya laah, kapan aku
pernah bohong sama kamu?”
“hmm…bakalan seru dong
jadinya”
“iyaalah, kan nanti
kita bakalan lebih sering sama-sama”, ucap Dimas sambil mengacak-acak rambutku.
“ih..Dimas, apaan sih”
Aku paling tidak suka
bila ada yang merusak rambutku, tapi entah kenapa tidak bila dengan Dimas. Aku
bahkan selalu merindukan ia melakukan hal itu kepadaku. Dan kali ini, Tuhan
memberiku kesempatan untuk bisa lebih sering melihatnya.
Keakraban kami dimulai
karena lagu. Lagu yang aku suka dan ternyata juga disukainya. Aliran musik yang
aku suka juga disukainya. Berawal dari hal kecil yang tak pernah di duga,
hingga menghasilkan perasaan seperti ini. Perasaan ini ‘mungkin’ oleh sebagian
orang disebut ‘cinta’.
“halo, kenapa Dim ?”
“eh..kamu udah
ngerjain PR dari bu Rani belum?”
“udah, kenapa?”
“aku belum nih, ga
ngerti soalnya. Ajarin aku dong, aku ke rumah kamu sekarang ya”
“i..iya, datang aja.
Aku tunggu”
Setelah mematikan
handphone aku bergegas membuka lemari pakaian dan sibuk mencari baju ganti.
Rasanya tidak ada yang pas yang harus digunakan.
“loh..kok aku jadi
gini, ngapain sih ribet sendiri kaya gini. Cuma mau ketemu Dimas kan?”
Akhirnya aku
membatalkan mengganti baju dan berdandan seadanya. Tak lama kemudian Dimas
datang, seperti biasa dengan senyumnya yang ‘manis’.
“masuk Dim”
“aku liat punya kamu
aja ya cha, tiba-tiba malas belajar nih”
“yee..katanya tadi mau
belajar”
“ayolah cha, pliss.
Demi aku ini”
“iya deh iya, nih
cepetan kerjain”
Disaat-saat kaya ini
bagi aku adalah ‘quality time’ sama Dimas. Dan aku selalu saja berharap suapaya
waktu bisa berenti agar aku bsa lebih lama sama Dimas. Tapi sayang hal itu ga
mungkin terjadi, karena pada kenyataannya setiap kali aku sama Dimas waktu
selalu aja lebih cepat dari biasanya, bahkan sangat cepat.
“cha, aku lagi ada
masalah keluarga nih. Galau banget akhir-akhir ini”
“jangan diseriusin loh
galaunya, kita bentar lagi kan mau UTS”
“terus gimana dong,
pikiran aku jadi ga tenang”
“sholat tahajud aja,
buat nenangin pikiran”
“susah kebangunnya ,
cha”
“ya udah ntar aku
bangunin deh sampai kamu bangun”
“iya deh kalo gitu.
Makasih ya, kamu emang temen paling baik deh sedunia”
“mulai deh mulai
lebaynya. Cepet kerjain aja tuh”
“siaap bu, laksanakan”
Tengah malam, seperti janjiku
sebelumnya kepada dimas aku membangunkannya untuk sholat tahajud. Tak ku
hiraukan rasa kantukku, aku rela untuk bangun tengah malam membangunkannya dan
ikut sholat tahajud bersamanya. Mendengar ‘suara’ bangun tidurnya yang
terdengar begitu lucu. Tergores sebuah senyuman diwajahku ditengah malam itu.
Aku semakin yakin,
sepertinya aku memang benar-benar jatuh cinta kepada Dimas. Aku tak tau
perasaan ini dimulai sejak kapan, aku bahkan tak tahu alasan apa yang membuat
aku jatuh cinta kepadanya. Yang aku tahu hanyalah aku mencintainya.
“pagi ichaku”, sapa
Dimas dengan tersenyum lebar
“ichaku? Sejak kapan
aku jadi punyanya kamu?”.
“hehe…aku lagi bahagia
nih”
“ciyee..traktiran
dong, bahagia kenapa?”
“hmm..makan mulu yang
dipikirin. Aku lagi suka sama cewe”
“siapa?”
“kamu tau ko orangnya,
dia deket soalnya sama aku dan aku rencananya mau nembak dia”
“ih..siapa sih?”
Dimas tak menjawab
pertanyaanku, dia tersenyum sambil menatapku dan lalu meninggalkanku dengan
segudang tanda tanya. Entah ini Cuma perasaanku saja atau memang demikian,
tatapan Dimas tadi membuat aku GR. “apa jangan-jangan cewe itu aku ya?”
Kejadian pagi itu
selalu saja teringat olehku, mungkin cewe yang dimaksud memang aku. Lalu apa
yang harus aku lakukan, apa aku harus bilang sama Dimas. Tiba-tiba saja Dimas
menelponku…
“cha, dimana? Ketemuan
yuk ada yang pengen aku kasih tau”
“iyaa, aku juga mau
ngomong sesuatu sama kamu. Dimana?”
“ditempat biasa yaa,
aku tunggu”
“okee”
Kata-kata Dimas secara
tidak langsung memunculkan argumen-argumen dikepalaku. Apa Dimas mau bilang
kalau…ah kita liat aja nanti. Mungkin memang ini saatnya aku bilang sama Dimas.
Aku tiba di kafe
tempat biasa kami bertemu dan melihat Dimas sudah ada disana menungguku. “sory
ya telat”.
“gak apa-apa ko”
“mm..kamu mau bicara
apa?”, aku memberanikan bertanya
“eh..tapi tadi kamu
juga mau ngomong kan, kamu aja duluan”
“ngga ah, kamu aja kan
yang duluan bilang kamu”
“ya udah deh kalo
gitu. Cha, kamu tau kan cewe yang aku bilang kemarin yang aku suka”
“iyaa…terus?”
“kamu mau tau dia
siapa?”
“ya iyalah, aku kan
penasaran”
“cewe itu Dinda dan
aku udah jadian sama Dinda tadi sore”
Ternyata Dinda dan
bukan Icha perempuan yang dimaksud Dimas. Bukan aku.
“hey..ko diam aja, kasih selamat dong. Ga senang ya
temennya bahagia?”
“eh..maaf, aku Cuma ga
nyangka aja. Selamat yaa aku bahagia ko kalo kamu bahagia”
“terus kamu mau bilang
apa, cha?”
“ngga jadi, aku lupa.
Udah lupain aja ga penting ko”
“ooh..gitu, terus aku
besok mau ngedate loh sama Dinda…..
Dimas terus bercerita
tentang Dinda dengan penuh semangat sampai-sampai dia tak menyadari bahwa ada
yang terluka mendengar ceritanya bahagianya. Ada yang menyembunyikan tangisnya
dibalik senyumnya yang manis agar tidak merusak kebahagian baru orang yang
dicintainya. Ada yang tetap setia mendengarkan cerita tentang kebahagiannya
padahal perasaannya begitu terluka. Ada yang begitu banyak berkorban agar orang
yang dicintainya bahagia.
Aku memilih untuk
menyimpan perasaanku sendiri agar tidak merusak kebahagiaanya. Dinda mungkin
yang terbaik untuk Dimas, mereka serasi. Bukankah mencintai itu tak perlu harus
memiliki, ya kan??
“cha, kita sekarang
jadi jarang sama-sama yah?”
“kamu tuh yang sibuk
punya pacar baru jadinya lupa deh sama aku”
“ih…kamu marah ya?”
“hahhaa..becanda kale,
aku maklum ko kan pacar bayuu”
“syukur deh. Kok aku
ngerasa kalo Dinda tuh agak cuek yah sama aku?”
“cuek gimana?”
“yaa..dia ga pernah
bilang kangen gitu sama aku”
“yaa..wajarlah cewe
kan gitu, gengsinya selangit. Yang dimulut pasti beda sama hatinya”.
“ooh…gitu yaaah, ribet
yah jadi cewe”
Yaa…Dimas selalu
bercerita tentang hubungannya dengan Dinda kepadaku, dan aku dengan bodohnya
selalu mendengarkan seolah-olah tak terjadi apapun. Ingin sekali rasanya aku
berteriak kepadanya dan mengatakan kalau aku cemburu mendengarnya. Tapi hal itu
tak mungkin kulakukan, mungkin orang lain akan menganggapku bodoh bila tau
perasaanku yang sebenarnya, mungkin diam tak selalu salah, diam adalah yang
terbaik sekarang agar aku tak sampai melukai perasaan orang lain. Aku hanya
ingin dia bahagia meskipun bukan denganku.
Aku pernah menganggap
cinta itu bodoh. Kenapa kita harus merelakan banyak hal untuk orang lain,
mengapa kita harus menahan air mata untuk orang lain. Dan sekarang aku
merasakannya sendiri dan aku menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Ketika memikirkan
seseorang yang mungkin tak memikirkan kita. Ketika menangisi seseorang yang
mungkin tak pernah menangisi kita. Ketika menyebut namanya dalam doa padahal ia
tak pernah menyebutmu dalam doanya. menurutku cinta adalah bukan seberapa besar kamu menerima tapi seberapa besar kamu memberi, memberi, dan memberi. Mungkin itu yang disebut cinta, rela
melakukan banyak hal untuk orang lain. Kalau ada yang bilang “cinta tak perlu
pengorbanan, ketika kau mulai merasa berkorban saat itu juga cintamu akan
hilang”, aku setuju dengan kalimat tersebut. Menurutku cinta memang tak
memerlukan pengorbanan karena cinta adalah pengorbanan itu sendiri. Ketika kamu
mulai mencintai seseorang maka saat itu juga tanpa disadari kamu mulai
mengorbankan sedikit demi sedikit sesuatu yang kamu miliki. Dan cinta itu akan
luntur ketika kamu mulai mengungkit pengorbanan tersebut.
Banjarbaru, awal September 2013